Pengalaman Sedekah Saat Berhaji
Pengalaman sedekah yang dialami oleh Ibu Yayah dan suaminya saat berhaji benar-benar memberikan makna tersendiri bagi si pelakunya, cobaan yang dialaminya juga tidak mudah dilalui. Adalah sangat manusiawi kalau ada rasa kesal karena kebetulan si penerima sedekah justru pamer dengan apa yang telah diberikan oleh Ibu Yayah, Berikut sekelumit cerita yang dialami Ibu Yayah dengan perjuangan sebelum berangkat berhaji dan sewaktu beliau dan suaminya di tanah suci.....
“Bapak mau pergi haji ya?” tanya Bu Yayah pada suaminya yang baru pulang dari biro haji milik salah seorang saudaranya.
“Iya, diajak Hari.... jadi pembimbing haji.” Jawab suaminya. Bibir Bu Yayah maju beberapa senti. Kok bisa-bisanya saudaranya itu tidak mengajaknya pula. Ia khan juga ingin naik haji lagi.
“Ibu bisa nggak ikutan juga, Pak?” suaminya menoleh.
“Hmm...” ia menggaruk-garuk kepalanya, “bisa aja sih, asal Ibu bisa mencari 10 orang yang mau naik haji di bironya Hari. Nanti Ibu bisa berangkat juga dengan gratis.”
Bu Yayah mengangguk mengerti. "Wah.. tantangan nih, pikirnya." Tanpa menunda lama, segera saja ia mulai menelpon kenalannya yang dianggap potensial.
“Bu Harun? Katanya mau haji, ayuk lewat biro saudara saya,” bujuk Bu Yayah pada seorang kawannya.
Begitu pula dengan beberapa teman lainnya. Mungkin sudah rezekinya, dalam waktu singkat Bu Yayah mampu mengumpulkan sepuluh ibu-ibu untuk pergi haji. Sebagai imbalannya, Bu Yayah bisa berangkat haji bareng suaminya pada tahun 2002 itu.
“Alhamdulillah akhirnya Ibu bisa pergi haji lagi bareng Bapak, ya..” syukurnya. Suaminya mengangguk, tersenyum.
“Emang udah rezeki Ibu, asal usaha dan doa, Allah pasti memberikan jalan keluar.” Cetus beliau.
“Iya, diajak Hari.... jadi pembimbing haji.” Jawab suaminya. Bibir Bu Yayah maju beberapa senti. Kok bisa-bisanya saudaranya itu tidak mengajaknya pula. Ia khan juga ingin naik haji lagi.
“Ibu bisa nggak ikutan juga, Pak?” suaminya menoleh.
“Hmm...” ia menggaruk-garuk kepalanya, “bisa aja sih, asal Ibu bisa mencari 10 orang yang mau naik haji di bironya Hari. Nanti Ibu bisa berangkat juga dengan gratis.”
Bu Yayah mengangguk mengerti. "Wah.. tantangan nih, pikirnya." Tanpa menunda lama, segera saja ia mulai menelpon kenalannya yang dianggap potensial.
“Bu Harun? Katanya mau haji, ayuk lewat biro saudara saya,” bujuk Bu Yayah pada seorang kawannya.
Begitu pula dengan beberapa teman lainnya. Mungkin sudah rezekinya, dalam waktu singkat Bu Yayah mampu mengumpulkan sepuluh ibu-ibu untuk pergi haji. Sebagai imbalannya, Bu Yayah bisa berangkat haji bareng suaminya pada tahun 2002 itu.
“Alhamdulillah akhirnya Ibu bisa pergi haji lagi bareng Bapak, ya..” syukurnya. Suaminya mengangguk, tersenyum.
“Emang udah rezeki Ibu, asal usaha dan doa, Allah pasti memberikan jalan keluar.” Cetus beliau.
Sesuai peraturan pemerintah, dari setiap uang yang disetorkan sebagai biaya haji, maka para peserta diberikan jatah uang saku sebesar 1500 real, termasuk Bu Yayah dan suaminya. Jadi, mereka mengantongi saku sekitar 3000 real. Sebelum berangkat haji, mereka sudah sepakat hanya uang saku suaminya yang akan dipakai belanja, sedangkan jatah Bu Yayah untuk disimpan.
Mulailah mereka berangkat ke tanah suci. Beribadah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw, menahan hawa nafsu, menahan teriknya panas di waktu siang dan dinginnya suhu di saat malam. Alhamdulillah mereka bisa juga meredam nafsu belanja, hingga uang 1500 real yang dijadikan jatah saku berdua tidak cepat habis.
Suatu ketika di saat sedang menjalankan ritual salah satu ibadah, seorang ibu dengan logat Sunda yang kental mendekati Bu Yayah.
“Bu, punten... saya butuh uang...” katanya. Bu Yayah mengerutkan dahinya. Ibu itu terus memandang dan mengikuti langkahnya. Karena tak ingin ibadahnya terusik, Bu Yayah lalu memberinya uang sebesar 100 real.
“Kurang, Bu...” katanya kemudian. Hati kecil Bu Yayah berdecak kesal. Sudah dikasih kok malah nawar ini orang? Namun sejurus kemudian ia beristighfar dan tanpa pikir panjang ia menambahkan 50 real pada ibu itu. Barulah wanita itu pergi sambil mengucapkan terima kasih.
Malamnya, ketika Bu Yayah, suaminya, dan rombongan hendak menunaikan shalat Isya di Masjidil Haram, tanpa disangkanya, ia bertemu lagi dengan ibu berlogat Sunda itu. Ia membawa sajadah yang bagus. Begitu melihat kehadiran Bu Yayah, ibu itu menghampiri dan mengajaknya ngobrol. Ia memperlihatkan sajadah bagus itu.
“Bu, lihat deh, sajadah ini bagus ya? Saya beli dari uang yang Ibu kasih,” pamernya dengan senyum mengembang. Bu Yayah hanya mengangguk dan ikut tersenyum. Ia senang pemberiannya dapat bermanfaat bagi ibu itu.
“Alhamdulillah, saya senang kalau pemberian saya ada manfaatnya...” jawabnya singkat.
“Semoga Allah membalas kebaikan Ibu, ya... saya doakan...” lanjut ibu itu sebelum berlalu.
Kemudian, Bu Yayah dan suaminya tak pernah terpikirkan lagi tentang ibu itu, mereka disibukkan dengan sisa ritual ibadah yang harus mereka kerjakan di tanah suci. Namun sungguh tak disangkanya beberapa hari kemudian, mereka malah ketemu lagi dengan si ibu berlogat Sunda itu. Tapi kali ini ia tidak sendirian, melainkan membawa seorang kawannya. Ibu itu memanggil Ibu Yayah yang sudah dilihatnya dari kejauhan.
Bu Yayah mengerutkan dahinya. "Subhanallah... bagaimana mungkin? Jamaah dari Indonesia, kan melimpah, kenapa ketemu terus dengan ibu yang satu ini?" begitu batinnya... aneh.
“Bu, kenalkan ini teman saya, “ katanya dengan riang. Bu Yayah menyambut uluran tangan mereka.
“Ini, loh Ibu baik hati yang meminjamkan saya 150 real,” si Ibu logat Sunda menjelaskan pada kawannya.
“Ah, bukan pinjam, saya ikhlas kok ngebantu kalau emang ibu butuh,” ralat Bu Yayah.
“Nggak, saya pinjam kok, nih teman saya mau gantiin, mumpung kita ketemuan lagi.”
Bu Yayah melongo, teman ibu itu menyerahkan sekantong lusuh yang berisi uang.
“Ini, terima aja, Bu. Sebagai ganti. Sudah ya... kami pamit.” Mereka berdua pergi menjauh.
Bu Yayah tak punya pilihan, kantong lusuh itu disimpan dalam tasnya, yang bahkan tak disentuhnya sampai mereka tiba di Indonesia. Begitu telah di rumah, Bu Yayah dan suaminya lantas menghitung sisa uang mereka.
“Eh... iya, Pak, tunggu!” Bu Yayah menepuk dahinya dan buru-buru ke kamarnya. Segera ia membuka kopernya dan mengambil kantong lusuh itu.
“Apaan itu, Bu?” suaminya heran.
“Ini loh, uang yang diganti ibu-ibu logat Sunda itu. Ibu belum tahu isinya.”
Mereka membuka ikatan kantong dan mengeluarkan isinya. Ternyata dalam rupiah dan...
“Subhanallah... kok bisa?”
“Kenapa?” suaminya menyahut.
Tapi istrinya malah terlihat kalang-kabut.
“Iki, Pak... jumlahnya sampe 20 juta! Aduh... mana Ibu nggak tau alamat Ibu itu lagi.... gimana ya?” Bu Yayah panik.
“Ini rezeki dari Alloh SWT, Bu...” suaminya menenangkan.
“Iya Ibu tahu! tapi kan yang ibu berikan sama dia nggak segede ini. Gimana dong?”
Setelah berembuk, sepasang suami istri itu memutuskan hanya mengambil sejumlah hak mereka, yaitu sekitar satu juta rupiah, sisanya di sumbangkan ke sebuah yayasan.
“Insya Allah ini keputusan terbaik...” bathin Bu Yayah berkata.
Maka, mereka menyerahkan uang itu ke sebuah yayasan untuk digunakan seperlunya. Tak terpikirkan setitikpun dalam benak mereka untuk mengambil semua jumlah uang itu, meskipun itu buah sedekah mereka dari Allah. Mereka yakin rezeki tak akan ke mana.
Dan... betul saja... beberapa minggu kemudian, suami Bu Yayah yang memang hampir bangkrut usahanya mendapat tawaran bisnis minyak tanah dan solar. Bisa dikatakan bisnisnya yang sekarang lebih bagus dari bisnisnya yang dulu.
“Lihat, Pak? Allah membalas perbuatan kita. Coba kalau sisa uang itu nggak kita alihkan ke yayasan, belum tentu begini, kan?”
Suaminya mengangguk setuju. Kini mereka tak perlu khawatir lagi akan kelaparan karena bisnis yang nyaris bangkrut telah tergantikan. ....Subhanalloh....................
Mulailah mereka berangkat ke tanah suci. Beribadah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw, menahan hawa nafsu, menahan teriknya panas di waktu siang dan dinginnya suhu di saat malam. Alhamdulillah mereka bisa juga meredam nafsu belanja, hingga uang 1500 real yang dijadikan jatah saku berdua tidak cepat habis.
Suatu ketika di saat sedang menjalankan ritual salah satu ibadah, seorang ibu dengan logat Sunda yang kental mendekati Bu Yayah.
“Bu, punten... saya butuh uang...” katanya. Bu Yayah mengerutkan dahinya. Ibu itu terus memandang dan mengikuti langkahnya. Karena tak ingin ibadahnya terusik, Bu Yayah lalu memberinya uang sebesar 100 real.
“Kurang, Bu...” katanya kemudian. Hati kecil Bu Yayah berdecak kesal. Sudah dikasih kok malah nawar ini orang? Namun sejurus kemudian ia beristighfar dan tanpa pikir panjang ia menambahkan 50 real pada ibu itu. Barulah wanita itu pergi sambil mengucapkan terima kasih.
Malamnya, ketika Bu Yayah, suaminya, dan rombongan hendak menunaikan shalat Isya di Masjidil Haram, tanpa disangkanya, ia bertemu lagi dengan ibu berlogat Sunda itu. Ia membawa sajadah yang bagus. Begitu melihat kehadiran Bu Yayah, ibu itu menghampiri dan mengajaknya ngobrol. Ia memperlihatkan sajadah bagus itu.
“Bu, lihat deh, sajadah ini bagus ya? Saya beli dari uang yang Ibu kasih,” pamernya dengan senyum mengembang. Bu Yayah hanya mengangguk dan ikut tersenyum. Ia senang pemberiannya dapat bermanfaat bagi ibu itu.
“Alhamdulillah, saya senang kalau pemberian saya ada manfaatnya...” jawabnya singkat.
“Semoga Allah membalas kebaikan Ibu, ya... saya doakan...” lanjut ibu itu sebelum berlalu.
Kemudian, Bu Yayah dan suaminya tak pernah terpikirkan lagi tentang ibu itu, mereka disibukkan dengan sisa ritual ibadah yang harus mereka kerjakan di tanah suci. Namun sungguh tak disangkanya beberapa hari kemudian, mereka malah ketemu lagi dengan si ibu berlogat Sunda itu. Tapi kali ini ia tidak sendirian, melainkan membawa seorang kawannya. Ibu itu memanggil Ibu Yayah yang sudah dilihatnya dari kejauhan.
Bu Yayah mengerutkan dahinya. "Subhanallah... bagaimana mungkin? Jamaah dari Indonesia, kan melimpah, kenapa ketemu terus dengan ibu yang satu ini?" begitu batinnya... aneh.
“Bu, kenalkan ini teman saya, “ katanya dengan riang. Bu Yayah menyambut uluran tangan mereka.
“Ini, loh Ibu baik hati yang meminjamkan saya 150 real,” si Ibu logat Sunda menjelaskan pada kawannya.
“Ah, bukan pinjam, saya ikhlas kok ngebantu kalau emang ibu butuh,” ralat Bu Yayah.
“Nggak, saya pinjam kok, nih teman saya mau gantiin, mumpung kita ketemuan lagi.”
Bu Yayah melongo, teman ibu itu menyerahkan sekantong lusuh yang berisi uang.
“Ini, terima aja, Bu. Sebagai ganti. Sudah ya... kami pamit.” Mereka berdua pergi menjauh.
Bu Yayah tak punya pilihan, kantong lusuh itu disimpan dalam tasnya, yang bahkan tak disentuhnya sampai mereka tiba di Indonesia. Begitu telah di rumah, Bu Yayah dan suaminya lantas menghitung sisa uang mereka.
“Eh... iya, Pak, tunggu!” Bu Yayah menepuk dahinya dan buru-buru ke kamarnya. Segera ia membuka kopernya dan mengambil kantong lusuh itu.
“Apaan itu, Bu?” suaminya heran.
“Ini loh, uang yang diganti ibu-ibu logat Sunda itu. Ibu belum tahu isinya.”
Mereka membuka ikatan kantong dan mengeluarkan isinya. Ternyata dalam rupiah dan...
“Subhanallah... kok bisa?”
“Kenapa?” suaminya menyahut.
Tapi istrinya malah terlihat kalang-kabut.
“Iki, Pak... jumlahnya sampe 20 juta! Aduh... mana Ibu nggak tau alamat Ibu itu lagi.... gimana ya?” Bu Yayah panik.
“Ini rezeki dari Alloh SWT, Bu...” suaminya menenangkan.
“Iya Ibu tahu! tapi kan yang ibu berikan sama dia nggak segede ini. Gimana dong?”
Setelah berembuk, sepasang suami istri itu memutuskan hanya mengambil sejumlah hak mereka, yaitu sekitar satu juta rupiah, sisanya di sumbangkan ke sebuah yayasan.
“Insya Allah ini keputusan terbaik...” bathin Bu Yayah berkata.
Maka, mereka menyerahkan uang itu ke sebuah yayasan untuk digunakan seperlunya. Tak terpikirkan setitikpun dalam benak mereka untuk mengambil semua jumlah uang itu, meskipun itu buah sedekah mereka dari Allah. Mereka yakin rezeki tak akan ke mana.
Dan... betul saja... beberapa minggu kemudian, suami Bu Yayah yang memang hampir bangkrut usahanya mendapat tawaran bisnis minyak tanah dan solar. Bisa dikatakan bisnisnya yang sekarang lebih bagus dari bisnisnya yang dulu.
“Lihat, Pak? Allah membalas perbuatan kita. Coba kalau sisa uang itu nggak kita alihkan ke yayasan, belum tentu begini, kan?”
Suaminya mengangguk setuju. Kini mereka tak perlu khawatir lagi akan kelaparan karena bisnis yang nyaris bangkrut telah tergantikan. ....Subhanalloh....................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar